loading...
Gerakan Kaum Tani Yang Diluluhlantakan Hingga Kebangkitannya Kembali Jelang dan Paska Kejatuhan Suharto (Seri Karya Rupa - Musik)Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori : Genosida 1965-1966 Gerakan Agraria Gerakan Petani
*publikasi berikut adalah seri rupa sebagai penanda peran sejarah gerakan kaum tani yang dihilangkan oleh kelas-kelas berkuasa
"Kembalinya ingatan akan peran sejarah itulah, ingatan akan ketertindasan kelas, ingatan Revolusi dan Aksi Massa pada akhirnya turut menyumbang amunisi untuk memampukan rakyat menumbangkan Suharto."
“Dengan melihat pembantaian massal tahun 1965 sebagai gerakan kontra-revolusioner juga akan mempermudah kita untuk mengerti bahwa gerakan ini adalah revolusi pada dirinya sendiri. Artinya, sekalipun merupakan ‘kontra-revolusi,’ pembantaian ini adalah sebuah revolusi.Dia melakukan reorganisasi kekuatan kelas sosial yang memiliki ideologinya sendiri. Semua kekuatan yang tidak berada dalam gerbong kelas dan ideologi kontra-revolusi yang diciptakan oleh militer Orde Baru harus diberangus dan diberantas habis.”
(Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner – Made Supriatma)
“Dari perspektif ekopol, genosida 65 itu bukan hanya sekadar patahan dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Genosida itu lebih tepat disebut sebagai pembalikan sejarah ke periode pra 17 Agustus 1945. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya, maka pasca 1965 Orba adalah sebuah rezim yang didirikan di atas tumpukan tulang-belulang rakyat sebangsa yang dibunuhnya secara massal. Jika proklamasi mengamanatkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, dalam pengertian sadar akan hak-hak politik dan ekonomi-sosial-budayanya, maka pasca 65 kekuatan rakyat yang sadar politik dan teorganisir ini dibabat hingga ke akar-akarnya. Aktivitas rakyat cukup di lapangan ekonomi saja, lebih khusus lagi sekadar bekerja untuk cari makan. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari ketergantungan pada pihak asing, rezim orba dengan sepenuh jiwa tunduk pada kepentingan negara-negara kapitalis maju. Bukankah ini persis seperti masa kolonial pra 17 Agustus 1945? Inilah pembalikan sejarah itu.”
(Mengapa Sulit Minta Maaf? – Coen Husain Pontoh)
Pengendalian kelas penguasa atas ingatan nasional dan kelas – yakni sejarah – adalah ciri khas masyarakat kelas dalam segala bentuknya. Kekejaman dan dan sifat merusaknya nyaris sebanding dengan subversifnya suatu ingatan atau pengalaman masa silam kelas teritindas. Dalam kasus Indonesia, ingatan itu mempunyai potensi yang sangat besar untuk menumbangkan dominasi politik dan ideologis elite penguasa yang sangat kecil dan telah memerintah Indonesia sejak 1965 – kaum elit Orde Baru. Kelas penguasa dan kaum elit politik dan intelektual yang melayaninya kini telah 45 tahun menulis dan menulis suatu sejarah baru Indonesia, menghapuskan dalam sejarah itu suatu peran yang serius untuk kelas-kelas tertindas dalam menentukan perjalanan perkembangan politik Indonesia.
(Max Lane dalam Prolog Buku Sejarah Alternatif Indonesia yang ditulis oleh Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht – Penerbit Djaman Baroe)
Menurut Made Supriatma pembantaian massal 1965 sebagai gerakan kontra-revolusi melakukan ‘reorganisasi kekuatan kelas sosial yang memiliki ideologinya sendiri. Siapa saja kekuatan yang tidak berada dalam gerbong kelas dan ideologi kontra-revolusi yang diciptakan oleh militer Orde Baru harus diberangus dan diberantas habis’.
Dan ini adalah kemunduran dalam perjalanan sejarah bangsa ini, bangsa ini kembali ke masa pra 17 Agustus 1945 seperti disampaikan Coen. Selain menghilangkan jutaan rakyat yang dibantai, dibungkam dan dipenjarakan, 20 tahun perjalanan perjuangan dan pergulatan bangsa ini telah tersapu bersih pula, dihilangkan.
Tidak hanya itu kemudian Suharto dan Orde Baru “menghapuskan dalam sejarah itu suatu peran yang serius untuk kelas-kelas tertindas dalam menentukan perjalanan perkembangan politik Indonesia” demikian Max Lane. Tak lain karena penguasa Orde Baru sadar bahwa ingatan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menumbangkan dominasi politik dan ideologis kekuasaan.
Kembalinya ingatan akan peran sejarah itulah, ingatan akan ketertindasan kelas, ingatan Revolusi dan Aksi Massa pada akhirnya turut menyumbang amunisi untuk memampukan rakyat menumbangkan Suharto.
simak
*dalam kajian White ini kita bisa mercermati perkembangan pemikiran kritis dan dinimias di lapangan agraria, kemandegan dunia ilmiah dan pemikiran paska peristiwa genosida 1965-1966 seiring penghancuran gerakan petani/agraria, dan perkembanganya kemudian
Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya
Organisasi tani merupakan lapangan tani menyusun kekuatan. Sebagai alat perjuangannya, untuk membebaskan dirinya dari penindasan politik, ekonomi dan sosial. Di sana belajar menambah kecerdasan otak dan jiwanya, dan dengan kesadarannya nanti membongkar segala pokok dan alat yang menjadi sumber kemiskinan dan kesengsaraan, untuk memperbaiki hidupnya
(Mochamad Tauchid dalam Masalah Agraria : Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, 1952)
[Revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja omong besar tanpa isi...
(Soekarno-17/8/60)]
(Soekarno-17/8/60)]
Pemberontakan Benih yang Sepi dan Petani yang Luka
(Ajeng Kesuma)
Sudah sejak lama sekantung benih berdiam di sudut ruang pada sebuah gubug diatas sepetak tanah milik seorang petani tua. Terhimpit diantara lokasi perumahan real estate dan jejeran ruko.
Yaaa, 7 tahun tentu bukan waktu yang pendek.
Sekantung benih itu sudah terlalu lelah menantikan saat-saat indah, terbenam dalam gumpalan tanah beraroma humus yang membangkitkan hasrat tumbuhnya.
Hari ke hari, minggu berganti bulan, bulan menahun, tahun berganti…
Yang ada dihadapannya bukan hamparan lahan, tapi wajah murung petani yang selalu memandangnya, menjumput, mengelus lalu menaburnya ke dalam kantung untuk disimpannya kembali.
Pada tahun pertama, kedua dan ketiga, di tengah penantian, benih-benih itu masih bisa tersenyum. Karena selain mengelusnya, sang petani sering menciumnya, menghirup bau biji-bijian yang membuat wajah keruh sang petani sedikit berseri. Tapi memasuki tahun keempat, si benih tak lagi merasakan sentuhan pucuk hidung si petani tua. Dia tak tahu mengapa, apakah karena petani itu sudah mulai bosan bermain benih atau mungkin istrinya mencemburui keintiman mereka.
Hingga pada satu hari, di tahun kelima, sang petani itu kembali menciumnya tapi sambil mengeluarkan kata-kata yang menyinggung rasa si benih; ‘’aahhh, aromamu semakin tak sedap saja, apek bercampur pesing.’’ Lalu petani tua itu sedikit menghempasnya ke dalam kantung. Benih-benih itu marah, dia merasa terhina dan tak terima dengan perlakuan petani tua. ‘’Aku memang bau, apek dan pesing,’’ ucapnya dengan kesal. ‘’Bertahun-tahun kecoak dan tikus singgah diatas kantung yang melindungiku. Bahkan tidak jarang, cucu petani tua itu ngompol ketika dia duduk diatas kantungku. Tapi, bukan berarti aku bisa dihina dan diperlakukan semena-mena. Sebagai benih, aku punya harga diri, punya hak, dan aku ingin menuntut hakku.’’
Begitulah, kemarahan si benih semakin menggumpal dan kesedihan sang petani semakin membuat wajah murungnya terpahat. Menegangkan syaraf di kedua ujung bibirnya, dan membuatnya semakin sulit tersenyum.
Lalu pada satu malam, memasuki tahun ketujuh dalam penantian yang sepi, benih itu terjaga dari tidur lelapnya. Dirasakannya tetesan air menyusup hingga ke setiap lekuk tubuh dan lubang pori-pori. Hampir dia bersorak, mengira tetesan itu adalah butiran hujan yang lama dirindu. Matanya yang terbelalak membuat rangkaian huruf pada kata ‘’horeeeeeee’’ terburai, lalu jatuh menumpuk di tenggorokannya, membuat nafasnya terhenti sejenak. Wajah petani tua berada begitu dekat, butir-butir hujan kesedihannya membasahi seluruh permukaan kantung. Si benih jatuh iba, hatinya adalah rasa yang bekerja, dan dia tahu kesedihan adalah hati yang terluka.
Susah payah petani tua itu membendung laju air dari matanya. Dia mengubah isak menjadi ratap. Diraupnya benih dan digenggamnya erat. Hatinya terkaparrr.., tangannya gemetarrr.., bibirnya bergetarrr... Ditatapnya benih itu lekat-lekat, ‘’Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Amarah ini sudah terlalu menggumpal dan aku tak lagi mampu menahannya menjadi ratap duka.’’ Dilepaskannya benih-benih itu dari genggamannya. Diambilnya sejumput lalu diburaikannya kembali, begitu terus dia lakukan sambil melanjutkan ratapannya dengan air mata yang mulai mengering. ‘’Aku tak tahu lagi, apakah masih mampu untuk bertahan. Pertaruhanku tinggal sepetak tanah yang kutempati ini. Dengan sedikit halaman untuk menanam pisang dan singkong agar aku, istri dan anakku bisa menyambung hidup.’’ Kini tangan petani tua itu menggegam ujung-ujung pembungkus si benih. Lalu mendekatkannya ke dada dan mendekapnya erat, sambil berkata; ‘’keinginanku untuk dapat menyemaimu pupus sudah. Rasanya aku sudah terlalu tua untuk merebut kembali tanah tempat rumah-rumah gedong itu berdiri. Terlalu kokoh untuk kurubuhkan dan terlalu senja waktuku tersisa.’’
Benih-benih dalam kantung itu tertegun. Pahamlah dia kini, kenapa petani tua itu tak kunjung menyemainya. ‘’Bagaimana mungkin aku bisa menciumi bau tanah, sedangkan lahan untuk bertanam tak lagi tersedia,’’ pikirnya.
Kini benih-benih yang masih terkurung dalam kantung itu mengalami gejolak batin yang luar biasa. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh kegelisahan. Dia memiliki kesadaran penuh, bahwa sebagai benih dia punya hak yang harus dipenuhi, dan dia akan berjuang untuk itu. Tapi di sisi lain, hatinya tersayat, luka sang petani adalah lukanya. Perjuangan petani tua itu untuk mempertahankan lahannya adalah juga perjuangan memenuhi hak si benih untuk disemai dan tumbuh.
Berhari-hari petani tua dan sekantung benih saling menyapa dengan tatap, saling meraba dengan rasa, saling bicara dalam diam. Komunikasi mereka adalah pertautan dua batin yang saling bergolak. Kemarahan mereka melahirkan hasrat perlawanan yang semakin sulit dibendung. Hingga kemudian lahirlah sebuah kesadaran baru dari keduanya. Kesadaran untuk melakukan pemberontakan terhadap penindasan dan penderitaan yang mereka rasakan.
Pagi masih berselimut kabut ketika petani tua itu menjumput sebutir benih, dilekatkannya di kulit tangannya yang keriput. ‘’Aku adalah benih, benih adalah aku, aku dan benih adalah kehidupan,’’ begitu dia berucap. Jiwanya mendengar kehendak dari sebutir benih yang menempel di kulitnya. Bergegas, sang petani tua membawa benih-benih itu menuju sepetak lahannya. Dikeruknya segenggam tanah basah dan membalurkannya ke tangan. Dikeruknya kembali dan membalurkannya ke dada, begitu seterusnya. Hingga sekujur tubuhnya menghitam berbalur tanah. Lalu, dia pun memercik-mercikkan air, dan membenam benih-benih itu ke tanah di seluruh permukaan tubuh hingga menancap ke pori-porinya. Kulit tubuhnya yang keriput terluka, luka itu mengalirkan darah, tapi dia tak lagi merasakan derita.
Diatas sepetak tanah, dibawah matahari pagi, tubuh petani tua itu terbujur. Matanya terpejam. Dengan doa dia mengirimkan cahaya fajar untuk istri, anak, cucu dan orang-orang yang dikasihinya. Lalu, dia mulai bermimpi memeluk istrinya, membelai dan menyentuh bibirnya yang keriput. Perempuan tua yang cintanya jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Dalam kesadaran yang tinggal setengah, bibir petani tua itu bergerak lemah, menyapa sang istri yang kini sudah bersimpuh disisinya, memeluk dan meratap. Dengan lirih petani tua itu berkata; ‘’Maafkan aku istriku, tapi inilah caraku mencintaimu, mencintai anak dan cucu kita, juga tanah kita.’’ Untuk terakhir kali, bibir petani tua yang mulai membiru kembali bergerak dan berkata dengan sangat pelan kepada istrinya; ‘’dalam keyakinanku, aku akan tetap hidup, tumbuh dan selalu bersamamu, bersama kehidupan.’’ Istrinya merasakan perih, butir air matanya membasahi tanah di tubuh suaminya. Tapi air mata itu membuat benih-benih di tubuh suaminya semakin segar, dan semakin siap untuk bertumbuh.
Kemudian, semua menjadi hening. Hanya darah yang masih menetes dari setiap lubang pori-pori tempat benih ditancapkan. Tetesan darah itu membasahi tanah, memberi protein bagi humus. Menumbuhkan akar-akar halus yang menyatukan; tubuh petani tua itu, benih dan tanah. Lalu, matahari menghangatkan rahim yang lama tersimpan dalam setiap butiran benih. Tanaknya memecah kulit, dan melahirkan kuncup hijau, pertanda kehidupan baru, dimulai.
Benih, petani tua, tanah, air dan matahari. Semua menyatu dalam sebuah ruang. Pemberontakan itu begitu sempurna. Hari pertama, benih-benih itu bertumbuh disetiap inci tubuh sang petani. Kemudian, hari kedua, seratus benih baru lahir. Hari ketiga, seribu benih baru kembali lahir. Hari keempat seratus ribu benih, hari kelima sejuta benih, begitu seterusnya. Lalu benih-benih itu menjadi padi, jagung, kacang, cabai, cengkeh, karet, coklat, kelapa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Benih dan petani tua, menyatu dan bertumbuh disetiap jengkal lahan yang hanya sepetak. Lalu mereka bergerak, tak mengenal keterbatasan lahan. Mereka tumbuh di lahan tetangga, di jalan-jalan, di ruko-ruko, di tembok-tembok rumah mewah di real estate, di kantor kelurahan, kantor kecamatan, pos polisi.
‘’Aku adalah benih, benih adalah aku, aku dan benih adalah kehidupan. Dengan tanah, air dan matahari, pemberontakan ini menjadi sempurna,’’ suara petani tua itu menggelegar dalam lorong jiwanya. Membentur dinding-dinding pembuluh nadinya dan membangunkan benih-benih. Lalu, pemberontakan itu kembali membesar. Benih dan petani itu bergerak dengan cepat menuju kantor-kantor pemerintahan, lapangan udara, sumur-sumur tambang.
Disudut-sudut kota, di rumah-rumah ibadah, di sekolah-sekolah, di terminal, stasiun, di kantor-kantor, pabrik-pabrik, di rumah-rumah, orang-orang semakin riuh. Dalam penantian mereka gelisah, dan sebagian merasa; ‘’inilah saatnya.’’
Takut akan lenyapnya kekuasaan dan kematian yang tak diinginkan, sang jenderal membacakan pidato kenegaraan. Dengan ini mengatakan; ‘’telah terjadi makar dan upaya pemberontakan, sehingga negara dalam darurat militer.’’
Tapi semua sudah terlambat, pangkalan militer kini sudah menjadi sawah-sawah, kebun, ladang dan hutan. Benih juga telah tumbuh di panser-panser, di bayonet dan senjata-senjata. Tembakan menjadi sia-sia, karena dari peluru yang berhasil ditembakkan, hanya mempercepat benih-benih itu tumbuh dan merambat.
Benih dan petani tua terus bergerak, bertambah dan bertumbuh. Lalu, dari kejauhan, di lembah-lembah, gunung-gunung, padang-padang, kampung-kampung, sudut-sudut, terdengar suara-suara, saling bergumam, bergemuruh, lalu berteriak; ‘’REVOLUSIII, REVOLUSIIII…!’’
‘jeng, bgr, 241011
(mengenang yang tertindas; menjadi benih yang selalu tumbuh di jiwa para pemberontak)
Sudah sejak lama sekantung benih berdiam di sudut ruang pada sebuah gubug diatas sepetak tanah milik seorang petani tua. Terhimpit diantara lokasi perumahan real estate dan jejeran ruko.
Yaaa, 7 tahun tentu bukan waktu yang pendek.
Sekantung benih itu sudah terlalu lelah menantikan saat-saat indah, terbenam dalam gumpalan tanah beraroma humus yang membangkitkan hasrat tumbuhnya.
Hari ke hari, minggu berganti bulan, bulan menahun, tahun berganti…
Yang ada dihadapannya bukan hamparan lahan, tapi wajah murung petani yang selalu memandangnya, menjumput, mengelus lalu menaburnya ke dalam kantung untuk disimpannya kembali.
Pada tahun pertama, kedua dan ketiga, di tengah penantian, benih-benih itu masih bisa tersenyum. Karena selain mengelusnya, sang petani sering menciumnya, menghirup bau biji-bijian yang membuat wajah keruh sang petani sedikit berseri. Tapi memasuki tahun keempat, si benih tak lagi merasakan sentuhan pucuk hidung si petani tua. Dia tak tahu mengapa, apakah karena petani itu sudah mulai bosan bermain benih atau mungkin istrinya mencemburui keintiman mereka.
Hingga pada satu hari, di tahun kelima, sang petani itu kembali menciumnya tapi sambil mengeluarkan kata-kata yang menyinggung rasa si benih; ‘’aahhh, aromamu semakin tak sedap saja, apek bercampur pesing.’’ Lalu petani tua itu sedikit menghempasnya ke dalam kantung. Benih-benih itu marah, dia merasa terhina dan tak terima dengan perlakuan petani tua. ‘’Aku memang bau, apek dan pesing,’’ ucapnya dengan kesal. ‘’Bertahun-tahun kecoak dan tikus singgah diatas kantung yang melindungiku. Bahkan tidak jarang, cucu petani tua itu ngompol ketika dia duduk diatas kantungku. Tapi, bukan berarti aku bisa dihina dan diperlakukan semena-mena. Sebagai benih, aku punya harga diri, punya hak, dan aku ingin menuntut hakku.’’
Begitulah, kemarahan si benih semakin menggumpal dan kesedihan sang petani semakin membuat wajah murungnya terpahat. Menegangkan syaraf di kedua ujung bibirnya, dan membuatnya semakin sulit tersenyum.
Lalu pada satu malam, memasuki tahun ketujuh dalam penantian yang sepi, benih itu terjaga dari tidur lelapnya. Dirasakannya tetesan air menyusup hingga ke setiap lekuk tubuh dan lubang pori-pori. Hampir dia bersorak, mengira tetesan itu adalah butiran hujan yang lama dirindu. Matanya yang terbelalak membuat rangkaian huruf pada kata ‘’horeeeeeee’’ terburai, lalu jatuh menumpuk di tenggorokannya, membuat nafasnya terhenti sejenak. Wajah petani tua berada begitu dekat, butir-butir hujan kesedihannya membasahi seluruh permukaan kantung. Si benih jatuh iba, hatinya adalah rasa yang bekerja, dan dia tahu kesedihan adalah hati yang terluka.
Susah payah petani tua itu membendung laju air dari matanya. Dia mengubah isak menjadi ratap. Diraupnya benih dan digenggamnya erat. Hatinya terkaparrr.., tangannya gemetarrr.., bibirnya bergetarrr... Ditatapnya benih itu lekat-lekat, ‘’Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Amarah ini sudah terlalu menggumpal dan aku tak lagi mampu menahannya menjadi ratap duka.’’ Dilepaskannya benih-benih itu dari genggamannya. Diambilnya sejumput lalu diburaikannya kembali, begitu terus dia lakukan sambil melanjutkan ratapannya dengan air mata yang mulai mengering. ‘’Aku tak tahu lagi, apakah masih mampu untuk bertahan. Pertaruhanku tinggal sepetak tanah yang kutempati ini. Dengan sedikit halaman untuk menanam pisang dan singkong agar aku, istri dan anakku bisa menyambung hidup.’’ Kini tangan petani tua itu menggegam ujung-ujung pembungkus si benih. Lalu mendekatkannya ke dada dan mendekapnya erat, sambil berkata; ‘’keinginanku untuk dapat menyemaimu pupus sudah. Rasanya aku sudah terlalu tua untuk merebut kembali tanah tempat rumah-rumah gedong itu berdiri. Terlalu kokoh untuk kurubuhkan dan terlalu senja waktuku tersisa.’’
Benih-benih dalam kantung itu tertegun. Pahamlah dia kini, kenapa petani tua itu tak kunjung menyemainya. ‘’Bagaimana mungkin aku bisa menciumi bau tanah, sedangkan lahan untuk bertanam tak lagi tersedia,’’ pikirnya.
Kini benih-benih yang masih terkurung dalam kantung itu mengalami gejolak batin yang luar biasa. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh kegelisahan. Dia memiliki kesadaran penuh, bahwa sebagai benih dia punya hak yang harus dipenuhi, dan dia akan berjuang untuk itu. Tapi di sisi lain, hatinya tersayat, luka sang petani adalah lukanya. Perjuangan petani tua itu untuk mempertahankan lahannya adalah juga perjuangan memenuhi hak si benih untuk disemai dan tumbuh.
Berhari-hari petani tua dan sekantung benih saling menyapa dengan tatap, saling meraba dengan rasa, saling bicara dalam diam. Komunikasi mereka adalah pertautan dua batin yang saling bergolak. Kemarahan mereka melahirkan hasrat perlawanan yang semakin sulit dibendung. Hingga kemudian lahirlah sebuah kesadaran baru dari keduanya. Kesadaran untuk melakukan pemberontakan terhadap penindasan dan penderitaan yang mereka rasakan.
Pagi masih berselimut kabut ketika petani tua itu menjumput sebutir benih, dilekatkannya di kulit tangannya yang keriput. ‘’Aku adalah benih, benih adalah aku, aku dan benih adalah kehidupan,’’ begitu dia berucap. Jiwanya mendengar kehendak dari sebutir benih yang menempel di kulitnya. Bergegas, sang petani tua membawa benih-benih itu menuju sepetak lahannya. Dikeruknya segenggam tanah basah dan membalurkannya ke tangan. Dikeruknya kembali dan membalurkannya ke dada, begitu seterusnya. Hingga sekujur tubuhnya menghitam berbalur tanah. Lalu, dia pun memercik-mercikkan air, dan membenam benih-benih itu ke tanah di seluruh permukaan tubuh hingga menancap ke pori-porinya. Kulit tubuhnya yang keriput terluka, luka itu mengalirkan darah, tapi dia tak lagi merasakan derita.
Diatas sepetak tanah, dibawah matahari pagi, tubuh petani tua itu terbujur. Matanya terpejam. Dengan doa dia mengirimkan cahaya fajar untuk istri, anak, cucu dan orang-orang yang dikasihinya. Lalu, dia mulai bermimpi memeluk istrinya, membelai dan menyentuh bibirnya yang keriput. Perempuan tua yang cintanya jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Dalam kesadaran yang tinggal setengah, bibir petani tua itu bergerak lemah, menyapa sang istri yang kini sudah bersimpuh disisinya, memeluk dan meratap. Dengan lirih petani tua itu berkata; ‘’Maafkan aku istriku, tapi inilah caraku mencintaimu, mencintai anak dan cucu kita, juga tanah kita.’’ Untuk terakhir kali, bibir petani tua yang mulai membiru kembali bergerak dan berkata dengan sangat pelan kepada istrinya; ‘’dalam keyakinanku, aku akan tetap hidup, tumbuh dan selalu bersamamu, bersama kehidupan.’’ Istrinya merasakan perih, butir air matanya membasahi tanah di tubuh suaminya. Tapi air mata itu membuat benih-benih di tubuh suaminya semakin segar, dan semakin siap untuk bertumbuh.
Kemudian, semua menjadi hening. Hanya darah yang masih menetes dari setiap lubang pori-pori tempat benih ditancapkan. Tetesan darah itu membasahi tanah, memberi protein bagi humus. Menumbuhkan akar-akar halus yang menyatukan; tubuh petani tua itu, benih dan tanah. Lalu, matahari menghangatkan rahim yang lama tersimpan dalam setiap butiran benih. Tanaknya memecah kulit, dan melahirkan kuncup hijau, pertanda kehidupan baru, dimulai.
Benih, petani tua, tanah, air dan matahari. Semua menyatu dalam sebuah ruang. Pemberontakan itu begitu sempurna. Hari pertama, benih-benih itu bertumbuh disetiap inci tubuh sang petani. Kemudian, hari kedua, seratus benih baru lahir. Hari ketiga, seribu benih baru kembali lahir. Hari keempat seratus ribu benih, hari kelima sejuta benih, begitu seterusnya. Lalu benih-benih itu menjadi padi, jagung, kacang, cabai, cengkeh, karet, coklat, kelapa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Benih dan petani tua, menyatu dan bertumbuh disetiap jengkal lahan yang hanya sepetak. Lalu mereka bergerak, tak mengenal keterbatasan lahan. Mereka tumbuh di lahan tetangga, di jalan-jalan, di ruko-ruko, di tembok-tembok rumah mewah di real estate, di kantor kelurahan, kantor kecamatan, pos polisi.
‘’Aku adalah benih, benih adalah aku, aku dan benih adalah kehidupan. Dengan tanah, air dan matahari, pemberontakan ini menjadi sempurna,’’ suara petani tua itu menggelegar dalam lorong jiwanya. Membentur dinding-dinding pembuluh nadinya dan membangunkan benih-benih. Lalu, pemberontakan itu kembali membesar. Benih dan petani itu bergerak dengan cepat menuju kantor-kantor pemerintahan, lapangan udara, sumur-sumur tambang.
Disudut-sudut kota, di rumah-rumah ibadah, di sekolah-sekolah, di terminal, stasiun, di kantor-kantor, pabrik-pabrik, di rumah-rumah, orang-orang semakin riuh. Dalam penantian mereka gelisah, dan sebagian merasa; ‘’inilah saatnya.’’
Takut akan lenyapnya kekuasaan dan kematian yang tak diinginkan, sang jenderal membacakan pidato kenegaraan. Dengan ini mengatakan; ‘’telah terjadi makar dan upaya pemberontakan, sehingga negara dalam darurat militer.’’
Tapi semua sudah terlambat, pangkalan militer kini sudah menjadi sawah-sawah, kebun, ladang dan hutan. Benih juga telah tumbuh di panser-panser, di bayonet dan senjata-senjata. Tembakan menjadi sia-sia, karena dari peluru yang berhasil ditembakkan, hanya mempercepat benih-benih itu tumbuh dan merambat.
Benih dan petani tua terus bergerak, bertambah dan bertumbuh. Lalu, dari kejauhan, di lembah-lembah, gunung-gunung, padang-padang, kampung-kampung, sudut-sudut, terdengar suara-suara, saling bergumam, bergemuruh, lalu berteriak; ‘’REVOLUSIII, REVOLUSIIII…!’’
‘jeng, bgr, 241011
(mengenang yang tertindas; menjadi benih yang selalu tumbuh di jiwa para pemberontak)
simak 400‘entry’ lainnya pada link berikut
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
loading...
0 Response to "Gerakan Kaum Tani Yang Diluluhlantakan Hingga Kebangkitannya Kembali Jelang dan Paska Kejatuhan Suharto (Seri Karya Rupa - Musik)"
Posting Komentar