loading...

Rivai Apin : Penghilangan Jejak Susastra, Lekra dan Sang 'die hard' Pulau Buru

loading...
Rivai Apin : Penghilangan Jejak Susastra, Lekra dan Sang 'die hard' Pulau Buru
Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori : Genosida 1965-1966 genosida politik lekra pulau buru Rivai Apin sastra


"die hard" : tahanan politik yang keras kepala dan sulit ditaklukan.


Di Pulau Buru ia ditempatkan di Unit III yang dikenal sebagai unit die hard bersama Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin. Sikap kerasnya menyambung perlawanan kaum naturalisten yang tidak mau bekerjasama dengan penguasa kolonial di Boven Digoel 40 tahun sebelumnya. Ia tetap membaca dan berkarya, antara lain menerjemahkan karya klasik Plato, Republic, dari edisi buku saku berbahasa Inggris dan panduan akupunktur yang disusun Felix Mann, pendiri dan ketua pertama Medical Acupuncture Society. Tapi kerja intelektual ini berimbang dengan kerja fisik. Hersri Setiawan, yang juga ditahan di Pulau Buru, dalam pidato untuk menghormati Oey bercerita bahwa Oey yang tidak punya latar belakang petani pernah memenangkan lomba menanam benih di sawah yang baru digarap. Oey termasuk rombongan terakhir yang dilepas dari Pulau Buru bersama Pramoedya, Rivai Apin, Hasjim Rachman dan Karel Supit. Penguasa militer terus terang bilang bahwa mereka adalah rombongan die hard yang harus dipisahkan dari tahanan lain.

 

Dalam  Mengenang Oey Hay Djoen (1929-2008) – Hilmar Farid


 

 sumber foto https://id.wikipedia.org/wiki/Rivai_Apin







Kritikus sastra A. Teeuw (1978, 1989) menghajar penyair Rivai Apin berkali-kali dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 dan Sastra Indonesia Modern II. Teeuw tidak sekadar mengkritik, tapi juga terkesan “mematikan” salah satu penyair Angkatan ’45 yang telah menghasilkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Asrul Sani dan Chairil Anwar (1950) dan Dari Dunia yang Belum Sudah (ed. Harry Aveling, 1972). Berikut saya kutip pernyataan Teeuw tersebut………

Benarkah puisi-puisi Rivai Apin sudah dilupakan di Indonesia? Kalau kita membaca Laut Biru Langit Biru dan Puisi Indonesia Modern yang dihimpun dan ditulis oleh Ajip Rosidi (1977, 1987), karya-karya Rivai Apin memang terlupakan atau dilupakan; salah satunya karena alasan politis. Bahwa Rivai Apin adalah sastrawan Lekra. Tapi, “ramalan” Teeuw bahwa “20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup” tidak benar sama sekali. Pada 2002, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menerbitkan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi dan memberi ruang pada puisi-puisi Rivai Apin untuk tetap hidup dan dibaca masyarakat Indonesia. Begitu pula pada 2008, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menerbitkan Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang mau tidak mau memunculkan nama Rivai Apin kembali……..

“Saya menilai tinggi Rivai Apin, karena ia pun mengalami revolusi batin, sehingga berhasil membebaskan diri dari liberalisme. Sebagai seorang bekas tokoh ‘Gelanggang’ dan humanisme universal, ia pun tidak akan segan-segan mengakui kekeliruan-kekeliruannya di masa lalu. Thing and rethink, shape and reshape, dan lahirlah Rivai Apin yang baru,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Bintang Timur, 17 November 1963……….

 



Apa yang dilakukan Teeuw terhadap Rivai di atas, adalah contoh terbaik dengan apa yang disebut Wijaya sebagai kekerasan budaya. Karena penilaian-penilaian yang diberikan Teeuw terhadap sajak Rivai lebih bersifat tendesius; terjadi kekerasan terhadap satu bentuk sastra (dalam hal ini sajak Rivai yang mencoba mencatat peristiwa politik saat aksi polisionil Belanda—yang kemudian diidentikkan sebagai sastra ‘realisme sosialis’) oleh pandangan Teeuw yang bersikap formalis. Lebih lanjut, Teeuw juga mengaitkan keterlibatan Rivai dalam sebuah organisasi dan tendensi politiknya (kemudian Rivai bergabung dengan Lekra—dalam konteks inilah penilaian-penilain Teeuw menyasar) dan membuat sajak Rivai menjadi buruk. Bahwa apa yang dikerjakan Rivai—menurut Teeuw, dus kekuasaan—sebagai penyair adalah hal yang buruk, dan tidak estetik. Oleh sebab itu wajar Teeuw mengatakan Rivai “tidak pernah menghasilkan karya kreatif sebuah pun” saat ia memainkan peranan penting di dalam Lekra, karena “sejak semula ia memang tidak pernah tampil sebagai pengarang penting”.






Sumber foto Bandung Mawardi


(Hasil Kongres Nasional 24-29 Januari 1959 Solo, Jawa Tengah)







 

 



simak 400 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966


Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Bookmark and Share

loading...

0 Response to "Rivai Apin : Penghilangan Jejak Susastra, Lekra dan Sang 'die hard' Pulau Buru "

Posting Komentar