loading...

Sejarah, Literatur dan Negara Tanpa Rakyat (bagian 1) (Catatan Kaki Edisi Khusus Tempo - Indonesia Yang Kuimpikan : 100 Catatan Yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri)

loading...
Sejarah, Literatur dan Negara Tanpa Rakyat (bagian 1) (Catatan Kaki Edisi Khusus Tempo - Indonesia Yang Kuimpikan : 100 Catatan Yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri)
Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori :





Prolog (sekaligus Epilog)

Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.


Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?


Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. "Being conspicuous by its absence," kata Shakespeare.

Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau "kebekelan" dengan "bekel"-nya. Apa yang kemudian disebut "rakyat" tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.
Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan "rakyat". Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.
*langkah subversif admin dengan meletakkan artikel Parakitri T. Simbolon sebagai prolog sekaligus epilog edisi khusus Tempo untuk Memperingati 100 tahun kebangkitan nasional.


!!! Sejarah kembali terulang gelombang pasang gerak rakyat (seperti yang terjadi pada awal abad 20 seperti  terekam dalam Shiraishi dalam Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926) 'merebut negara' dan rakyat sebagai agensi sejarah dan perubahan disapu bersih dalam gelombang genosida 1965-1968. Setelah sebelumnya periode singkat Revolusi Sosial 1945-1946 yang meletus di beberapa daerah diantaranya Banten, Tangerang, Tegal-Brebes,-Pemalang (Peristiwa Tiga daerah), Surakarta hingga Sumatera Timur.  Paska Genosida 1965-1968" Rezim Suharto dan Militer kemudian juga menyapu habis 'Rakyat' dari 'Sejarah, Literatur dan Negara' .

simak juga Membikin Terang ‘Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia’ (*) yang Digelapkan





Tentang Edisi Khusus Tempo untuk Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional



Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.


Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.


Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya


Terlepas dari bisanya diperdebatkan 100 teks yang dipilih, Tempo telah menyumbang kepada kita sudut pandang pentingnya peranan gagasan dalam sebuah perubahan sosial, penemuan terus menerus sebuah nation, sebuah kebangsaan yang pada awalnya terbangun karena ketertindasan dan inspirasi kosa kata baru ‘modern’ yang kemudian meletikan kesadaran untuk bangkit, bersatu, berlawan dan berbangsa. Dalam hal ini gagasan-gagasan yang menggerakan kebangkitan nasional, proklamasi kemerdekaan hingga masa depan Indonesia.


Terlepas pula dengan subyektifitas Tempo atau proses seleksi yang dasarnya adalah pandangan bahwa Indonesia yang diimpikan adalah Indonesia yang pluralis, kosmopolit dan modern. Mungkin kelompok-kelompok lain bisa punya mimpi yang berbeda yang bila mereka melakukan kerja seperti yang dilakukan Tempo akan menemukan 100 teks yang berbeda.


Kedua saya pikir Tempo telah memberikan sumbangan kepada historiografi sejarah Indonesia. Memang setahu saya sudah cukup banyak kajian sejarah yang memeriksa dan menganalisis peranan gagasan/teks dalam sebuah momen atau peristiwa sejarah. Diantaranya yang paling saya suka adalah BACAAN LIAR : BUDAYA DAN POLITIK PADA ZAMAN PERGERAKAN yang ditulis oleh sejarawan Razif. Tulisan ini paling tidak merekam bacaan liar baik itu karya-karya jurnalistik, opini hingga novel dan puisi. Demikian pula membaca perlawanan bacaan kaum pergerakan radikal (kiri) terhadap hegemoni Balai Pustaka dalam sub tema bacaan liar vis a vis Balai Poetaka.


Yang dilakukan Tempo walau bisa jadi belum memenuhi syarat keilmiahan studi sejarah, tetapi menyumbang kepada kita sebuah pemahaman tentang teks-teks yang berkontribusi kepada eksistensi kita hari ini dan masa depan.


Ada tiga hal menggoda yang muncul dalam benak saya. Pertama terkait opini kritis Parakitri T Simbolon di dalam edisi kebangkitan nasional ini yang kedua terkait tulisan Bre Redana di Kompas 22 September 2008 Nasionalisme di Zaman Konsumsi. Terakhir terkait dengan sudut pandang Razif dalam bacaannya tentang perseteruan bacaan liar dan Balai Pustaka yang menerbitkan Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Salah Asoehan, Tenggelamnya Kapal Van der Wyik (ke 4 nya adalah diantara 100 teks Tempo). Dalam Razif disebutkan Balai Pustaka sebagai benteng kolonial menyebut literatuur socialisme sebagai bacaan liar (selain karya-karya jurnalistik, pamplet-pamflet pergerakan di kaji juga novel Hikayat Kadiroen yang ditulis Semaoen dan syair-syair-puisi Mas Marco). Point terakhir ini sebenarnya masih terkait dengan opini kritis Parakitri.


Pada bagian akhir tulisannya Negara Tanpa Rakyat, Parakitri menuliskan Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan ”rakyat”. Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.


Dalam artikel ini Parakitri menyoroti hilangnya atau dihilangkannya rakyat dalam historiografi Indonesia oleh para Indonesianis. Baru setelah munculnya karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion : Popular Radicalism in Java 1912-1926 (1990) (edisi Indonesianya sudah diterbitkan Grafiti Pers, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926), menurut Parakitri ‘rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan. Dimana pergerakan dipandang sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana dan bahasa modern.”


Parakitri kemudian sampai pada kesimpulan apa yang ada di dalam literatur historiografi (watak) itu adalah juga kenyataan tentang Indonesi Merdeka, negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia Merdeka.


Spirit dan konteks waktu di dalam teks Siraishi adalah juga spirit dan waktu yang hadir didalam kajian Razif tentang bacaan liar. Dalam prakatanya Siraishi menulis ‘ gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan bumiputera pada awal abad XX’.


Terkait dengan Balai Pustaka selain sudah disebutkan tentang perannya sebagai benteng kolonial, Razif mengungkap dimana literature Balai Pustaka adalah alat hegemoni yang ampuh. Dimana di dalam teks BP tabu untuk menyingkap eksploitasi yang dilakukan kekuasan kolonial. Malahan yang dominan adalah sikap menyerah terhadap nasib dan mengikuti aturan. Dimana pada umumnya ada penggambaran bagaimana kebaikan melawan kejahatan dan tokoh baiknya melekat atau diwakili tokoh colonial atau pra-kolonial. Disis lain di sisi jahatnya atau lawanya di dalam Siti Nurbaya sebagai satu contoh, Datuk Maringgi digambarkan sebagai tokoh yang luar biasa jahat. Akhirnya Datuk Maringgi sebagai orang yang menentang pajak dan kekuasaan kolonial secara terbuka pupus.


Barangkali sudut pandang Parakitri, Shiraishi dan Razif langsung atau tidak langsung adalah pertanyaan nakal untuk Tempo. Walau Tempo pun memilih Pemberontakan Petani Banten karya Sartono yang di pengantarnya disebut dipilih karena membuktikan bukan hanya orang yang terpelajar yang menggerakan sejarah, tapi juga orang kecil. Tempo juga menyebutkan pemberontakan ini adalah referensi gerakan sosial dan petani yang menjadi bibit rasa kebangsaan Indonesia. 


Juga Tetralogi Pram yang mengangkat periode awal abad XX sebagai awal munculnya Zaman Bergerak walau lebih menonjolkan peran Minke sebagai elite pergerakan, sang pemula. Sang Pemula adalah Tirto Adhi Suryo, demikian Pram dalam karya biografi tokoh ini. Walau seperti diutarakan Pamela Allen Membaca dan Membaca Lagi (Indonesia Tera) paling tidak melalui Jejak Langkah Minke mulai mencari pendekatan efektif untuk mengembalikan agency kepada rakyat, dengan menggunakan tiga strategi utama, organisasi massa, boikot dan praktek penghapusan praktik budaya Jawa yang feodal. Dan Tempo memilih pula Koran Medan Prijaji dengan judul ulasan singkat Tirto dan Koran Pergerakan. Tetapi secara simbolik dapat dikatakan Tirto adalah yang mengawali dan membangun landasan, Marco dengan Dunia Bergeraknya dan Semaoen adalah yang melakukan akselerasi.


Demikian pula dalam nuansa yang agak mirip saya ketika menemukan ulasan panjang tentang 11 jilid buku AH Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan dan Nasionalisme dan Revolusinya Kahin dalam ulasan pendek, saya lantas teringat Revolusi Pemudanya Ben Anderson, Peristiwa Tiga Daerahnya Anton E. Lucas, Pergolakan Daerahnya Audrey R Kahin. George Mc. T Kahin dalam ulasannya terhadap Revolusi Pemuda menyebutkan Andersen mengungkap soal yang amat penting dan mendalam yakni tentang “bagaimana gerakan untuk mencapai kemerdekaan nasional sering bertentangan dengan usaha untuk melaksanakan revolusi sosial, serta tentang mengapa strategi-strategi untuk mencapai salah satu tujuan ini dapat dengan mudah bertentangan dengan strategi-strategi untuk mencapai tujuan yang lain. Saya pikir dititik inilah soal kesimpulan Parakitri tepat membidik persoalan “negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka”.


Akhirnya saya akan tutup tulisan ini dengan kutipan artikel Bre Redhana - Nasionalisme di Zaman Konsumsi (Kompas 22 September 2008) :


 Kalau tokoh itu bergerak di belakang layar dengan sejumlah nama samaran dan hidup dalam persembunyian-persembunyian—di situ ia malah melahirkan magnum opus Madilog—maka tokoh-tokoh politik masa kini berlomba-lomba naik panggung, berada di depan layar, mencoba meraih hati publik dalam strategi pencitraan dengan tag line ”win the heart”. Mereka mengedepankan diri dengan senyumnya, dengan jasnya, sampai dengan nomor mobilnya.


Kalau dulu pada bagian back atau ”belakang layar panggung” adalah dapur tempat pengolahan gagasan-gagasan kebangsaan, sekarang di bagian itu adalah wilayah agensi, biro iklan, pokoknya bagian bisnis. Mereka mengolah angka, memanipulasi realitas, mematok target. Bisnis telah menjadi panglima, dan nasionalisme—seperti halnya momen-momen lain seperti hari besar keagamaan—menjadi dagangan tahunan. Selamat mengonsumsi nasionalisme”.


Atau apa yang dikatakan oleh Bre bahwa generasi atau anak-anak muda sekarang mereka yang berusia 20 sampai 30, adalah generasi yang tidak mempan dengan labelisasi komunis, PKI dan vokabulari mereka adalah Guess, Calvin Klein, Armani dll. Disebutnya juga Che Cuevara yang oleh bapak-bapak dulu dianggap hantu komunis bagi generasi baru adalah ikon mode.


Bagaimana mereka memberlakukan 100 teks pilihan Tempo ini? Lalu antara cara pandang Tempo tentang impian Indonesia yang pluralis, kosmopolit dan modern yang diwakili Shiraisi, Razif dan Pemberontakan Petani Banten, saya pikir generasi yang disebutkan Bre itu lebih dekat dengan impian pluralis, kosmopolitan dan modern. Jelas kuasa kapital lebih mudah mengkooptasi gagasan ini dibanding gagasan sama rasa sama ratanya Marco.


Jalan yang kutuju amat panas,
Banyak duri pun anginnya keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang juga kami papas,


Supaya jalannnya SAMA RATA,
Yang berjalan pun SAMA me RASA
Enak dan senang bersama-sama
Yaitu “Sama rasa, sama rata.”
(dikutip dari Jaman Bergerak : Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempo Doeloe, penyusun Edi Cahyono)


Andreas Iswinarto


Bagian 2 sila kunjung 


100 teks pilihan Tempo

(1)
Demokrasi Kita
Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)
(2)
Dasar Politik Luar Negeri Indonesia
(Mendajung Antara Dua Karang)
Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946), NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)
(3)
Beberapa Fasal Ekonomi
Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)
(4)
Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I)
Penerbit: Panitya Penerbit, 17 Agustus, 1959 (I), 1963 (II), 1965 (IV), Yayasan Bung Karno, 2005 (V)
(5)
Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959; jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960 
(6)
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
Penerbit: Grafiti Pers
Tahun terbit: 1995
(7)
Massa Actie in Indonesia
Terbit: Desember 1926 (Singapura), 1947 (Jakarta), 1986 (Yayasan Massa, Jakarta) 
(8)
Dari Pendjara ke Pendjara
Terbit: 1948
(9)
Madilog
Terbit: 1943 
(10)
Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia
Penerbit: Dinas Sejarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa, Bandung, 1977, 11 jilid
(11)
The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
Penerbit: Ithaca: Cornell University Press (1973)
(12)
Dualistische Economy
Penerbit: Leiden: Van Doesburgh (1930)
(13)
Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman
Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta (2000).
(14)
Nationalism and Revolution in Indonesia
Penerbit: Cornell University Press (1952)
(15)
Indonesian Political Thinking: 1945-1965
Penerbit: Ithaca, New York (1970)
(16)
The Religion of Java
Penerbit: The University of Chicago Press, Chicago, dan The University of Chicago, Ltd., London (1960)
(17)
Netherlands Indie, A Study of Plural Economy
Penerbit: Cambridge: At The University Press dan New York: The Macmillan Company (1944).
(18)
Capita Selecta
Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, (jilid I, 1955) dan Pustaka Pendis, Jakarta, (jilid II, 1955), (jilid I) 
(19)
Indonesia in den Pacific-Kernproblemen van den Aziatischen
Penerbit: Penerbit Sinar Harapan (1937) 
(20)
Perubahan Sosial di Yogyakarta
Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1990 
(21)
Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun
Penerbit: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta (1973)
(22)
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
Penerbit: Djambatan, Jakarta (1971)
(23)
Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini
Penerbit: Alumni, Bandung (1983)
(24)
(25)
Art in Indonesia: Continuities and Change
Penerbit: Cornell University Press, New York (1967)
An Introduction to Indonesia Historiography
Penerbit: Cornell University, Amerika Serikat, 1965
An Introduction to Indonesia Historiography
Penerbit : Cornell University, Amerika Serikat, 1965
(26)
Science and Scientists in the Netherlands Indies
Penerbit: Board for the Netherlands Indies, Surinam & Curaçao, New York (1945)
(27)
Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna, dan Keserasian
Penerbit: Yayasan Indonesia Hijau dan Gramedia (1986) 
(28)
Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan
Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981) 
(29)
NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru
Penerbit: LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
(30)
Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)
Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta (1981) 
(31)
Catatan Subversif
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan PT Penerbit Gramedia (1987) 
(32)
Pembagian Kekuasaan Negara
Penerbit: Aksara Baru (1978) 
(33)
Laporan dari Banaran
Penerbit: Sinar Harapan (1960)
(34)
Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1983)
(35)
Six Decades of Science and Scientists in Indonesia
Penerbit: Naturindo, Bogor (2005)
(36)
Pemberontakan Petani Benten
Penerbit : PT Dunia Pustaka jaya, Jakarta (1984)
(37)
Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia
Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1986)
(38)
A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia
Penerbit: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York (1971)
(39)
125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976
Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1976)
(40)
Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai
Penerbit: CV Rajawali, Jakarta (1982)
(41)
Di Tepi Kali Bekasi
Penerbit : Hasta Mitra
Jakarta (1951)
(42)
Tetralogi Pulau Buru 
Bumi Manusia (1980); Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Lankah (1985); Rumah Kaca (1988) 
Penerbit : Hasta Mitra Jakarta
(43)
Siti Nurbaya
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1920)
(44)
Belenggu
Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1940)
(45)
Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1948)
(46)
Surabaya
Penerbit : Merdeka Press, Jakarta (1974)
(47)
Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesai
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta (1949)
(48)
Layar Terkembang 
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1936)
(49)
Salah Asuhan
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1928)
(50)
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1938)
(51)
Jalan Tak Ada Ujung
Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952) 
(52) 
Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei 
Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta (1954) 
(53) 
Revolusi di Nusa Damai 
Penerbit: Harper & Brother (Revolt in Paradise, 1961), PT Gunung Agung (1964) 
(54) Bebasari 
Penerbit: Fasco Djakarta (Cetakan ke-2, 1953) 
(55) 
Burung-burung Manyar 
Penerbit: Djambatan (1981) 
(56) 
Sandhyakala Ning Majapahit 
Penerbit: Pustaka Jaya (1971) 
(57)
Naskah Proklamasi
(58)
Indonesia Vrij
1928
(dalam buku karya Lengkap Bung Hatta Jilid 1)
(59)
Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat
Orsi : Menteng Raya 58, Jakarta (2 Januari 1970)
(60)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
(61) 
Garis-Garis Besar Haluan Negara 
(62) 
Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983: 
Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang 
(63) 
Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was) . 
(64) 
Pidato Lahirnya Pancasila 
(65) 
Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966 
(66) 
Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV 
(67) 
Manifes Kebudayaan 
(68) 
Surat Kepercayaan Gelanggang 
(69) 
Sumpah Pemuda 
(70) 
Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers 
(71)
Habis Gelap Terbitlah Terang
Penerbit : Balai Pustaka, Jakrta (1922)
(72)
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demostran
Penerbit : LP3ES Jakarta (1983)
(73)
Pergolakan Pemikiran Islam
Penerbit : LP3ES Jakarta (1981)
(74)
Polemik Manifesto Politik
Publikasi : Harian Rakjat dan Merdeka
(3-8 Juli, 1964)
(75)
Perjuangan Kita
Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001 
(76) 
Melawan Melalui Lelucon 
Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000 
(77) 
Polemik Soetatmo versus Tjipto 
Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986 
(78) 
Polemik Kebudayaan 
Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935) 
(79) 
The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States 
Publikasi: Basic Book, New York (1963) 
(80) 
Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya 
Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929 
(81) 
Student Indonesia di Eropa 
Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928. Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000 
(82) Pranakan Arab dan Totoknja 
Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934) 
(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960. Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999 
(84) 
Penduduk dan Kemiskinan 
Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976) 
(85)
Deru Campur Debu
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta 1949
(86) 
Tirani dan Benteng
Penerbit : Yayasan Ananda, Jakarta (1993-edisi baru)
(87) 
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Penerbit : Lembaga Studi Pembangunan Jakarta 1980
(88) 
Aku Ingin Jadi Peluru
Penerbit : Indonesia Tera, Magelang 2000
(89)
Wiro ”Anak Rimba Indonesia”
Penerbit: Liong, Semarang (1956) 
(90)
Keulana 
Penerbit: Firma Harris, Medan (1959) 
(91)
Matinya Seorang Petani 
Penerbit: Majalah Indonesia (1955) 
(95)
Tirto dan Koran Pergerakan
Koran Medan Prijaji (1907-1912) 
(96) 
Sepotong Sejarah Jakarta 
Kisah-kisah Jakarta Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (1977) 
(97) 
Lawatan ke Pelosok Negeri 
Catatan di Sumatera Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1949) 
(98)
Atlas Indonesia
Penerbit : NV Djambatan Jakarta (1952)
(99)
Ensiklopedia Indonesia 
Penerbit : W Van Hoove Ltd, Bandung (1955)
(1000
Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1952)




Bagian 2 sila kunjung 


simak 450 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966


Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o



13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)



Bookmark and Share


loading...

0 Response to "Sejarah, Literatur dan Negara Tanpa Rakyat (bagian 1) (Catatan Kaki Edisi Khusus Tempo - Indonesia Yang Kuimpikan : 100 Catatan Yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri)"

Posting Komentar