loading...
Dadang Christanto 1965 Artspace : Kehilangan, Trauma Hingga Protes dan Memorialisasi Genosida 1965-1966Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori :
dari pameran terbaru Dadang Christanto 'Missing' yang sedang berlangsung di Wei-Ling Gallery Kuala Lumpur
** pameran MISSING di Kuala Lumpur
by Alexa T – herdemag.com
foto karya : dokumentasi Dadang Christanto
simak juga dalam website ini
Di ruang pameran dipajang dua instalasi, Red Rain (2000) dan Cannibalism: The Memory of Jakarta-Solo 13. 14, 15 Mei 1998 (1998), serta lima lembar drawing. Temanya senapas, yaitu tentang korban kekerasan. "Lebih dari dua juta orang mati dibantai setiap tahun," kata Dadang kepada Gatra, di sela acara pembukaan pamerannya.
Cerita tentang pembantaian manusia membekas kuat di hati Dadang. Dia sendiri bisa dikatakan sebagai korban. "Ayah saya diangkut dengan truk pagi-pagi buta, sementara saya tidak mengerti apa-apa," kata Dadang. "Sejak saat itu, saya tak pernah lagi bertemu ayah." Peristiwa 1965 itu terus membekas dalam benak Dadang, hingga saat ini.
Lewat karyanya, seakan Dadang ingin bercerita tentang sejarah pahit masa lalunya. Ia ingin membuat orang-orang yang melihat karyanya merasakan keterlibatan emosi. They Give Evidence bukan sekadar dongeng mengerikan tentang pembantaian manusia. Ia menjadi hantu yang mengikuti perjalanan hidupnya.
Dadang merawat ingatan tentang 1965 lewat karya seni. Ia pun menamakan studionya 1965 Artspace.
Dadang Christanto is a haunted man. His art comes from suppurating wounds that cannot heal; from the poetic images comes a shout of pain.
It comes from the indelible memory of the eight-year-old boy whose father disappeared one night in 1965, the man dragged from his house in the village of Tegal, Central Java, by soldiers after a failed coup attempt on Sukarno’s military regime, conveniently blamed on the Indonesian communist party. It comes from the half a million or more people killed in just a few months. “They were killing farmers who did nothing,” the artist says. “They just wanted the land.”
At the time, Christanto’s mother would get leads that her husband might still be alive. She would go to the prison, but he was never there. Her son remembers her despair. More recently, he has spoken to someone who saw his father in the parking area of the police station covered in blood. “He was tortured.”
The families of the victims were formally shunned, left to bear a lifelong stigma. “If you want to kill the grass, you kill under the root,” Christanto says now. “That is the Suharto military thinking.”
Kajian Karya/Pameran
Portfolio Dadang Christanto –Dokumentasi Karya dari Gallerysmith
Memberi Makna Pada Ingatan - Hendro Wiyanto
Memberi Makna Pada Ingatan - Hendro Wiyanto
Kajian atas karya instalasi Dadang Christanto “Mereka Memberi Kesaksian”
.
Preview : Abstrack, page 1-2
.
LORONG PEMBANTAIAN (2015)
simak
Lorong Hitam Tak Kunjung Akhir : Mesin Jahit, Arang, Sikat Gigi, Cerita Rakyat, Tiada Maaf dan Lupa Ingatan (Amnesia) I Genosida Politik 1965
Wawancara Dadang Christanto oleh sbs.com.au (Audio)
Ia dikenal atas karya-karya yang menggambarkan kekerasan sosial. Wajah, kepala, dan darah seringkali menjadi bagian dari hasil karyanya itu. Mengapa?
Apakah karakteristik visual yang utama dari karya-karya Dadang Christanto? Mengapa nama atau judul dari pameran ini penting? Mengapa peristiwa tahun 1965 -1966 masih tetap melandasi kebanyakan karya Dadang Christanto? Seniman Dadang Christanto menjelaskan semuanya itu.
Katalog Pameran
Keberpihakan Terhadap Korban Lumpur Lapindo
*Dadang Christanto tentu tidak hanya menyoal Genosida 65-66 tapi juga banyak persoalan lainnya, salah satunya adalah persoalan bencana lumpur lapindo
Dadang Christanto di Lumpur Lapindo - Sunardian
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
loading...
0 Response to "Dadang Christanto 1965 Artspace : Kehilangan, Trauma Hingga Protes dan Memorialisasi Genosida 1965-1966"
Posting Komentar