loading...
1965 – Tahun Matahari Tenggelam* [Kumpulan Artikel INDOPROGRESS Terkait Genosida Politik 1965-1966] Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori :
*dari judul artikel Aboeprijadi Santoso
BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.
BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.
Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai manusia sebangsa. Setelah September 1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang memahaminya.
pengantar untuk wawancara John Rossa oleh M Zaki Hussein
Prof. John Roosa: Identitas Bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965 (2012)
performance art Dadang Christanto
karya Misbach Tamrin
admin menyusun artikel berdasarkan urutan penulis sesuai urutan abjad, dalam kompilasi ini termasuk artikel editorial, analisa, wawancara, resensi buku/film. sebagai penutup secara khusus kami tampilkan obituari - in memorium penyintas 65
Memutus Peristiwa 65 dengan Skema 1-5-1; Rekonstruksi Cara Pandang Gus Dur
Prof. John Roosa: Identitas Bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965 (2012)
performance art Dadang Christanto
“Dari perspektif ekopol, genosida 65 itu bukan hanya sekadar patahan dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Genosida itu lebih tepat disebut sebagai pembalikan sejarah ke periode pra 17 Agustus 1945. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya, maka pasca 1965 Orba adalah sebuah rezim yang didirikan di atas tumpukan tulang-belulang rakyat sebangsa yang dibunuhnya secara massal. Jika proklamasi mengamanatkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, dalam pengertian sadar akan hak-hak politik dan ekonomi-sosial-budayanya, maka pasca 65 kekuatan rakyat yang sadar politik dan teorganisir ini dibabat hingga ke akar-akarnya. Aktivitas rakyat cukup di lapangan ekonomi saja, lebih khusus lagi sekadar bekerja untuk cari makan. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari ketergantungan pada pihak asing, rezim orba dengan sepenuh jiwa tunduk pada kepentingan negara-negara kapitalis maju. Bukankah ini persis seperti masa kolonial pra 17 Agustus 1945? Inilah pembalikan sejarah itu.”
(Mengapa Sulit Minta Maaf? – Coen Husain Pontoh)
“…….kita tidak dapat melihat peristiwa tragedi 1965 ini secara sederhana. Problemnya tidak dapat disederhanakan semata-mata pada konflik antara kekuatan santri dan anti-komunis versus PKI dan pendukung Soekarno, di mana salah satu adalah korban dan yang lain adalah pelaku kekerasan. Pemahaman atas narasi sejarah yang memperlihatkan konteks makro pertarungan ekonomi-politik dan konteks mikro momen kekerasan 1965, menunjukkan kepada kita bahwa kita adalah korban. Hanya dengan memahami secara empatik bahwa sebagian besar aktor-aktor domestik yang terlibat dalam konflik adalah korban, di mana sebagian besar ormas menjadi korban dari manipulasi informasi sehingga dimanfaatkan untuk menjadi alat kekerasan oleh negara dan yang lain menjadi korban langsung dari kekerasan tersebut, maka jalan terjal berliku rekonsiliasi nasional dapat kita tempuh dengan alat-alat perjalanan yang kita butuhkan untuk merambahnya.”
(Peristiwa 65: Kita Adalah Korban – Airlangga Pribadi)
“Dengan melihat pembantaian massal tahun 1965 sebagai gerakan kontra-revolusioner juga akan mempermudah kita untuk mengerti bahwa gerakan ini adalah revolusi pada dirinya sendiri. Artinya, sekalipun merupakan ‘kontra-revolusi,’ pembantaian ini adalah sebuah revolusi. Dia melakukan reorganisasi kekuatan kelas sosial yang memiliki ideologinya sendiri. Semua kekuatan yang tidak berada dalam gerbong kelas dan ideologi kontra-revolusi yang diciptakan oleh militer Orde Baru harus diberangus dan diberantas habis.
Demikianlah kita lihat bahwa kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang dipakai dan diperalat untuk membantai oleh militer kemudian satu per satu dipungkas dan dibabat habis. Itu pulalah yang dialami oleh kaum Nasionalis dan kaum Islam. Ketika Orde Baru mengkonsolidasi kekuasaannya, dengan segera dia menyasar kekuatan politik Nasionalis dan Islam. Regim Orde Baru menyingkirkan sama sekali mereka dari kekuasaan. Dalam hal ini, dilihat dari perspektif pembantaian massal, para korban dan para jagal mengalami nasib yang sama: tergilas oleh tank-tank militer Made Supriatma”
(Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner – Made Supriatma)
“Memang benar sekali, bahwa 1965 adalah titik dimulainya kekuasaan Orba dan fondasi dasar sebuah rezim fasis-militeris yang hendak mempertahankan sebuah kekuasaan jahat dari para Kapitalis Birokrat (kapitalis rente). Sebagaimana diketahui, Kapitalis Birokrat (disingkat Kabir) adalah sisa-sisa feodalisme di Indonesia yang akumulasi modalnya (kekayaannya) didasarkan pada kekuasaan politik, bukan pada praktek bisnis kapitalisme modern. Karenanya Kabir tidaklah dapat disebut sebagai kapitalisme modern. Dia adalah sisa-sisa yang masih kuat dari para penguasa feodal politik, yang berwujud kelompok militer terutamanya para Jendral; penguasa-penguasa berlatar belakang kekuasaan tradisional yang memakai agama atau adat atau privilese feodal mereka sebagai topeng penggenggam kekuasaan, dan para birokrat pengendali kekuasaan yang berkepentingan untuk mengorupsi kekayaan Negara secara aman. Bahkanpun preman atau bandit merupakan bagian feodalisme yang dipakai penguasa untuk melestarikan kekuasaan mereka. Semua ini mudah dijumpai dalam politik sehari-hari di Indonesia, karena terjadi setiap harinya. Karenanya, tidak heran bahwa sejak fenomena rezim Kabir itu ada di tahun 1950an, maka sampai kini rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi. Rezim Kabir terus berkuasa di Indonesia, mempertahankan kekuasaan fasis militerisnya dengan sedikit modifikasi reformasi kelembagaan maupun citra politik di tahun 1998, dan mempertahankan wacana 1965 sebagaimana yang telah dilakukan Soeharto dan komplotannya.”
(Kebiadaban Negara Kapitalis Birokrat Orde Baru: 50 Tahun Genosida 1965 -Bonnie Setiawan)
“……maka kekalahan permanen untuk PKI merupakan kemenangan yang besar bagi jejaring ekspansionis kapitalisme dan nekolim global serta komprador-komprador lokalnya – seperti faksi kapitalis bersenjata alias militer Indonesia. Penghancuran PKI adalah, mengutip cover majalah Time, ‘The West’s best news for years in Asia,’ yang dapat secara sistematis dan masif melemahkan perjuangan rakyat pekerja di berbagai lini[1] dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme global di Indonesia.
Tidak hanya itu, serangan terhadap perjuangan kelas di Indonesia dalam konteks tragedi 1965, juga bergerak di ranah politik pengetahuan. Sebagaimana disebutkan oleh Ruth McVey (1990), salah satu hal pertama yang dilakukan militer dalam prahara 1965 adalah menggerebek dan merampas arsip-arsip PKI, yang membuat mereka terkejut karena arsip-arsip tersebut menunjukkan kemampuan riset PKI yang mendalam dalam analisanya sekaligus mengakar ke realita sosialnya rakyat pekerja. McVey juga memaparkan bagaimana PKI berusaha menjadikan pendidikan rakyat dan kader rakyat sebagai salah satu program utamanya.”
(Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas – Iqra Anugrah)
Penghancuran terhadap gerakan kiri merupakan kerugian terbesar bagi Indonesia. Sesaat setelah penghancuran PKI dan Soekarnois yang menjadi garda depan revolusi Indonesia oleh Soeharto pada 1965, modal asing kapitalisme merangsek masuk dan mengekstraksi sumber daya alam Indonesia melalui undang-undang penanaman modal asing.
(Ancaman Fasisme, Pelurusan Sejarah dan Peran Penting Gerakan Kiri di Indonesia – Roy Murtadho)
“Akan tetapi pada akhirnya keadilan kelembagaan baru bisa dilaksanakan bila basis ekonomi ekonomi politik dari pertarungan politik juga berubah. Yakni kala kelompok yang lemah di masyarakat terorganisir solid dalam melakukan perimbangan kekuasaan mengimbangi kekuatan kalangan yang menguasai jaringan dan sumber daya ekonomi dan politik, termasuk kendali atas negara. Fondasi inilah yang lenyap sejak akhir September 50 tahun lalu”
(Memahami September – Irwansyah)
karya Misbach Tamrin
Memutus Peristiwa 65 dengan Skema 1-5-1; Rekonstruksi Cara Pandang Gus Dur
Aan Anshori (2015)
Aan Anshori (2014)
Aan Ratmanto (2017)
Aboeprijadi Santoso (2015)
Ahmad Yunus (2010)
Ahmad Thariq (2017)
Airlangga Pribadi (2013)
Alfred D. Ticoalu (2015)
Ariel Heryanto (2014)
Arif Saifudin Yudistira (2015)
Arman Dhani (2015)
Arif Saifudin Yudistira (2015)
Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (bg 1)
Ayu Wahyuningroem (2015)
Ayu Wahyuningroem (2015)
Ayu Wahyuningroem (2015)
Ben K. C. Laksana dan Rara Sekar Larasati (2017)
Berto Tukan (2015)
Berto Tukan (2015)
Bonnie Setiawan (2016)
Bonnie Setiawan (2015)
Bonnie Setiawan (2016)
Bonnie Setiawan (2016)
Bonnie Setiawan (2016)
Bosman Batubara (2013)
Budi Irawanto (2016)
Coen Hussain Pontoh (2016)
Coen Hussain Pontoh (2014)
David Tobing (2013)
Dea Anugrah (2013)
Dharma Setyawan (2016)
Diah Wahyuningsih (2015)
Dian Purba (2017)
Dicky Dwi Ananta (2016)
Eko Prasetyo (2017)
Eko Prasetyo (2017)
Elvan De Porres (2016)
Fathimah Fildzah Izzati (2014)
Fathun Karib (2016)
Fikri Disyacitta (2014)
Gde Putra (2017)
Hilmar Farid (2008)
Irwansyah (2016)
Irwansyah (2015)
Iqra Anugrah (2015)
Iqra Anugerah (2013)
Khalid Syaifullah (2016)
Kristianus Antonius Saputra (2017)
M. Najib Yuliantoro (2013)
Made Supriatma (2015)
Made Supriatma (2015)
Made Supriatma (2014)
Margaret Scott (2015)
Martin Aleida (2012)
Martin Suryajaya (2014)
Mastono (2015)
Max Lane (2010)
Michael Siahaan (2016)
Muhammad Al-Fayyadl (2014)
Muhammad Al-Fayyadl (2013)
Rian Adhivira (2016)
Roy Murtadho (2016)
Roy Murtadho (2016)
Roy Murtadho (2015)
Roy Murtadho (2015)
Roy Murtadho (2017)
Roysepta Abimanyu (2007)
Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan
Rio Apinino (2013)
Ruth Indiah Rahayu (2017)
Sayfa Auliya Achidsti (2013)
Siti Maimunah (2013)
Tinuk R. Yampolsky (2015)
Viriya Paramita (2015)
Wilson Bhara Watu (2016)
Windu W. Jusuf (2015)
Windu W. Jusuf (2015)
Windu W. Jusuf (2015)
Windu Jusuf (2014)
Windu W Jusuf (2013)
Wijaya Herlambang : “Salihara dan Freedom Institute itu Lembaga Sampah!” (2014)
Yoseph Yapi Taum (2012)
Obituari (*Penyintas 65)
Fransiskus Pascaries (2017)
Fransisca Ria Susanti (2014)
Wilson (2011)
Lilik Hs (2011)
Max Lane (2009)
JJ. Kusni (2008)
Hilmar Farid
Budi Setiyono
Hilmar Farid
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
loading...
0 Response to "1965 – Tahun Matahari Tenggelam* [Kumpulan Artikel INDOPROGRESS Terkait Genosida Politik 1965-1966] "
Posting Komentar