loading...
Tan Swie Ling : "Riungan dan Tegar Hati, Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan"* l Genosida Politik 1965-1966 Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori :
* dari judul artikel Aquino W Hayunta dan John Rossa "Riungan dan Tegar Hati : Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan"
TAN SWIE LING
dari Riungan dan Tegar Hati : Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan – Aquino W Hayunta dan John Rossa dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (Ed. Ayu Ratih, Hilmar Farid dkk) hal 113-124 Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (Ed. Ayu Ratih, Hilmar Farid dkk) hal 113-124. (unduh)
In Defiance: Voices of Torture Survivors, Tan Swie Ling
No Reconciliation without Truth An Interview with Tan Swie Ling on the 1965 Mass Killings in Indonesia
petikan tanya jawab hakim dan Tan Swie Ling di persidangan mahmilub 1965, seperti disalin tirto
Tersebutlah seorang pemuda Tionghoa bernama Tan Swie Ling. Dua hal yang membuat dia tidak disukai Orde Baru adalah: Tionghoa dan sekretaris Sudisman si Anggota Politbiro PKI. Pemuda ini jadi saksi dalam sidang Sudisman. Hakim menanyainya soal pembangunan kembali PKI. Pemuda itu menjawab, tidak mengerti. Hakim lalu menyuruhnya mendekat ke meja hakim. Hakim berkata, “coba lihat! Ini tanda tangan siapa?”
“Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan dengan santai. Hakim lalu menyuruhnya duduk kembali untuk ditanyai lagi. Hakim lalu mengulang pertanyaan yang sama. Tan pun kembali tidak paham dengan pertanyaan hakim. Hakim lalu mendekat lagi ke meja dan bertanya, “ini tanda tangan siapa?”
“Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan lagi dengan santai juga. Hakim menyuruhnya duduk lagi. Tan diminta lagi menjawab pertanyaan yang dia tidak paham, soal pembangunan kembali PKI. Tan kembali mengakut tidak paham soal pertanyaan itu. Hakim naik pitam.
“Lihat sekali lagi! Ini tanda tangan siapa?”
“Tanda tangan saya, Pak.”
“Kembali ke tempatmu!” perintah hakim. Tan kembali duduk, seperti yang dimaui hakim. Sementara hakim mulai mengamuk sambil menggebrak meja.
“Kamu tahu ini tempat apa?”
“Tahu, Pak Hakim.”
“Tempat apa?”
“Sidang Mahmilub.”
“Apa itu Mahmilub?”
“Mahkamah Militer Luar Biasa”
“Jadi kamu tahu ini bukan tempat main-main, mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
“Nah, sekarang jelaskan soal pembangunan kembali PKI,” ulang hakim.
“Saya tidak mengerti pertanyaan Bapak Hakim.”
“Bagaimana kamu terus-terusan menjawab pertanyaan hakim, kalau pertanyaan ini diambil dari keterangan di atas tanda tanganmu?” bentak hakim, namun si pemuda Tionghoa oitu tetap tenang.
“Kalau semua itu ada di atas tanda tangan saya, mohon Bapak Hakim membacakannya. Mudah-mudahan saya akan terpandu untuk bisa memberikan keterangan sesuai permintaan Bapak,” ucap Tan. “Bukan kamu yang memberi perintah di sini, melainkan kamu harus melaksakan perintah menerangkan soal pembangunan kembali PKI!” bentak hakim dengan nada yang semakin keras.
“Mohon maaf Bapak Hakim, saya tetap masih belum bisa mengerti pertanyaan Bapak.”
“Bagaimana kamu terus bersikeras tidak mengerti, padahal yang ditanyakan diambil dari keterangan yang kamu tanda tangani?” bentak hakim yang makin panas.
“Mohon maaf Bapak Hakim, kondisi saya semasa itu bisa membubuhkan tanda tangan dibawah keterangan apapun,” aku Tan. Maksud Tan dia terpaksa menandatangani keterangan itu dibawah tekanan dan terpaksa.
“Apa?” teriak hakim. “Kamu mau mengatakan kalau kamu dalam keadaan terpaksa ketika membubuhkan tanda tanganmu?”
“Benar Bapak Hakim,” jawab Tan tanpa ragu. Tan masih ingat adegan yang ditulisnya dalam memoarnya G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme (2010) itu. Tan tak lupa seorang pegawai sipil Hankam memakinya sebagai wirog kalen alias tikus got.
Ben Anderson adalah pemberi kata pengantar buku G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme
BUKU
G30S 1965, Perang Dingin Dan Kehancuran Nasionalisme
Penulis : Tan Swie Ling
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun : 2010
Buku ini berangkat dari pengalaman hidup Tan Swie Ling. Riwayat hidupnya “dimulai” pada 1 Oktober 1965, ketika dia dapat berita tentang G30S. Meskipun buku ini berangkat dari pengalaman hidup Tan Swie Ling, seorang eks tapol G30S, tetapi penulis tidak cerita sedikit pun tentang orangtua, tempat kelahiran, sekolah, aktivitas-aktivitas politiknya ketika masih muda, dsb. Riwayat hidupnya “dimulai” pada 1 Oktober 1965, ketika dia dapat berita tentang G30S. Saat dia harus mulai sembunyi dan membantu mencari tempat aman untuk Ketua PKI terakhir, Sudisman. Lantas akhir tahun 1966, keduanya ditangkap karena dikhianati Ketua Komisi Verifikasi PKI dan anggota CC, Sujono Pradigdo yang takut disiksa. Selama 13 tahun, dia dipenjara sambil disiksa secara buas dan sadis. Setelah lepas, dia–seperti eks tapol lainnya–harus mengalami segala macam penghinaan, diskriminasi, ancaman dan pemerasan. Tetapi dia tak patah hati, otaknya tidak ambruk, semangat dan disiplinnya tetap utuh. Dan inilah refleksinya atas G30S, awal dari kehancuran nasionalisme Indonesia dan Indonesia itu sendiri.
Resensi
Wawancara
sumber foto https://htanzil.wordpress.com/
Simak 400 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
loading...
0 Response to "Tan Swie Ling : "Riungan dan Tegar Hati, Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan"* l Genosida Politik 1965-1966 "
Posting Komentar