loading...

Tapak Tilas Situs-situs Genosida Politik 1965-1966 di Jakarta Raya

loading...
Tapak Tilas Situs-situs Genosida Politik 1965-1966 di Jakarta Raya
Di Posting Oleh : Berita Dunia (Ibrahimdera)
Kategori : genosida 1965 Jakarta Raya kamp kerja paksa tangerang penjara bukit duri penjara salemba peristiwa 1965 tapak tilas tragedi 1965





simak serial lainnya  


*Para prajurit bersenjata mengangkut para terduga anggota Pemuda Rakyat, pada 10 Oktober 1965, dua hari sebelum diumumkannya penangkapan Letkol Untung.
*Seorang terduga simpatisan G30S dipriksa di bawah todongan senjata.
*Markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta, pada 8 Oktober, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul Peristiwa G30S
*13 Oktober 1965: Sekelompok mahasiswa Muslim membakar markas Pemuda Rakyat di Jakarta
*Serdadu mengawasi para tersangka Komunis yang ditahan di sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965
*Seorang mahasiswa keturunan Cina melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, pada 15 Oktober. Polisi dan tentara menangkap 40 mahasiswa -tak seorang pun di antaranya yang merupakan pengunjuk rasa.
*Massa menghancurkan universitas Res Publica, perguruan tinggi yang diidentikkan dengan PKI dan Partai Komunis Cina,.


Dokumen Foto Het Nationaal  Archief 

*Pembakaran kantor PKI
*Pembakaran Buku-buku Kiri
*Grafiti anti PKI




Suasana Jakarta setelah kegagalan kudeta G 30 S, 3 Oktober 1965



  

Kantor Pusat CC PKI di Jakarta dibakar massa anti PKI demonstran tgl 29 okt 1965




Demonstrasi massa anti PKI 29 Otober 1965 






Demonstran anti PKI merusak rumah pimpinan PKI di Jakarta tgl 14 oktober 1965





Aparat keamanan menangkap para tersagnka anggota PKI di sekitar Jakarta akhir tahun 1965




Para terduga PKI dibawa ke LP Salemba. Oktober 1965







The New Rulers of the World 2001

simak sekitar menit 17 ketika John Pigler berada di sebuah kelas di sebuah sekolah di jakarta dimana terjadi penyergapan dan pembunuhan seorang kepala sekolah (guru) 



"Roy took me back to his primary school where, for him, the nightmare of Suharto's rule began. As we sat in an empty classroom, he recalled the day in October 1965 when he watched a gang burst in, drag the headmaster into the playground, and beat him to death. "He was a wonderful man: gentle and kind," Roy said. "He would sing to the class, and read to me. He was the person that I, as a boy, looked up to . . . I can hear his screams now, but for a long time, years in fact, all I could remember was running from the classroom, and running and running through the streets, not stopping. When they found me that evening, I was dumbstruck. For a whole year I couldn't speak."



The headmaster was suspected of being a communist, and his murder that day was typical of the systematic executions of teachers, students, civil servants, peasant farmers. "In terms of the numbers killed," reported the Central Intelligence Agency, "the massacres rank as one of the worst mass murders of the 20th century." The historian Gabriel Kolko wrote that "the 'final solution' to the communist problem in Indonesia ranks as a crime of the same type as the Nazis perpetrated". According to the Asia specialist Peter Dale Scott, western politicians, diplomats, journalists and scholars, some with prominent western intelligence connections, propagated the myth that Suharto and the military had saved the nation's honour from an attempted coup by the Indonesian communist party, the PKI. Until then, Sukarno had relied on the communists as a counterweight to the army. When six army generals were murdered on September 30, 1965, Suharto blamed the PKI. Since the dictator's fall in 1998, witnesses have spoken for the first time and documents have come to light strongly suggesting that Suharto, who had military control of Jakarta, opportunistically exploited an internecine struggle within the army in order to seize power.







.
























Analogi Munadi tentang Terminal Pemenjaraan dan Halte-halte Interogasi Penyiksaan, Penahanan  
















































detil simak laporan khusus Tempo

PENGAKUAN ALGOJO 65 


*tentang Operasi Kalong yang termuat di laporan khusus Tempo diatas simak juga kesaksian Martin Aleida.






Penjara Salemba: Sepanjang Pengalamanku - Hersri Setiawan
**simak 18 foto dokumentasi majalah Life






*kesaksian Ibu Mudji

“Nenek masih ingat nak, pada malam harinya para petugas mengepung rumah nenek. Petugas itu membawa senjata dan memakai seragam tentara” ucap ibu Mudji. “Mereka memasuki rumah nenek lalu berkata, kami minta ibu untuk di minta keterangan selama tiga jam” begitulah kata ibu Mudji tentang awal terjadinya penahanan beliau.

Ibu Mudji dibawa ke Kodim setelah dari Kodim beliau lalu dibawa ke Bukit Duri yang berada di Jakarta Selatan. Di sana ada sekitar 150 orang yang di penjara. “Di Bukit Duri nenek dan tahanan lainnya juga pernah diberi makan menir nak, kamu tahu nak apa makanan menir itu?” Tanya ibu Mudji “Tidak nek saya tidak tahu” jawab saya tak mengerti. “Jadi nak, makanan menir itu nasi campur pasir supaya pasir-pasirnya itu terpisah dari nasi maka harus diberi air dulu, dan itu pun hanya muat dua sendok makan.” Jawab ibu Mudji.

Di Bukit Duri tahanannya ada yang sudah renta, bahkan ada pula ibu yang sedang hamil. Sampai pernah beberapa bayi yang dititipkan ke petugas lalu meninggal di penjara akibat kekurangan gizi, pelayanan, dan faktor lainnya. “Di sana nenek punya teman yang namanya Solawati” ucap ibu Mudji “Dia siapa nek, kenapa ditahan?” tanyaku penasaran. “ Ia seorang bidan yang membantu para wanita ibu hamil” jawab ibu Mudji. “Nasibnya sama seperti nenek ia dituduh telah menari Harum Bunga di Lubang Buaya, Ibu Solawati juga merupakan seorang mantan walikota wanita pertama yang mendapatkan bintang maha putra” ucap Ibu Mudji semangat.

Ibu Mudji berada di Bukit Duri kurang lebih selama 10 (sepuluh) tahun. Beliau ditahan mulai dari tahun 1965 sampai 1975. Kemudian ia dibawa ke tempat yang berikutnya yaitu Plantungan.



*Pascapenangkapan di Cianjur, Nani pun harus mendekam di bui. Berpindah dari lembaga pemasyarakatan satu ke rumah tahanan lainnya. Perempuan yang masih terlihat bugar di usia senjanya ini bercerita, penahanan terakhirnya berlangsung di Gedung Ampera Cianjur selama sebulan, kemudian dipindah ke CPM Bogor selama sepekan, ke CPM Guntur dua pekan, hingga menghabiskan tujuh tahun masa mudanya di Bukit Duri Jakarta.




  
*Gedung Komnas HAM






*eks kantor SOBSI.



*cermati sub judul 1965: Stasiun Terakhir bagi Buruh Kereta-Api

"Kemudian 6 Oktober mereka mulai mengangkut RPKAD ke Jawa Tengah, mulai terjadi operasi penangkapan terhadap anggota-anggota SBKA melalui operasi sapu lidi. Artinya adalah operasi pembersihan terhadap penguasaan kereta-api oleh SBKA. Hampir sekitar 80.000 anggota SBKA yang ditangkap pada bulan Oktober hingga November. Di Manggarai, penangkapan-penangkapan buruh kereta-api terjadi pada bulan yang sama. Mereka dikumpulkan oleh tim screening dari Komando Ketertiban dan Keamanan (Kopkamtib) di dua tempat. Tempat pertama adalah Bengkel Manggarai dan tempat llainnya kantor pusat SBKA yang terletak di Manggarai. Tim screening ini terdiri dari pejabat PNKA, wakil dari organisasi buruh dalam hal ini PBKA, wakil dari ABRI dan Kejaksaan. Hampir seluruh anggota cabang SBKA Manggarai dinyatakan terlibat gerakan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung."

"Pada masa G-30-S itu yang paling berat sekali dan itukan gini kereta-api harus jalan pegawai banyak yang ditangkapi, kan belum tentu seluruh buruh kereta -api masuk dalam G-30-S dan kalau mereka tetap ditahan, jadi kereta-apinya tidak jalan. Lalu saya mesti datangi, dan tau kalau saya yang datangi pasti ada yang dikeluarkan, saya dikiranya sebagai pendukung komunis. Oleh karena itu, saya kemudian minta dikawal oleh militer. Saya mendatangi penjara di Kroya dan Cilacap sebagai basis dari SBKA dan mungkin hampir pada 500 orang dapat saya lepas. Setelah itu saya juga ditunjuk untuk mendatangi penjara Tangerang dan berhasil melepaskan 120 orang SBKA Manggarai. Akhirnya tindakan ini dihentikan oleh tentara. Karena tentara sudah menuduh seluruh buruh adalah PKI. Dan saya, katakan siapa yang menjalankan kereta-api? Lalu saya dihadapkan pada pimpinan tentara di Kroya (saya lupa namanya). Ia katakan sudah tutup saja jalan-jalan kereta-api yang tidak penting.

*Wawancara dengan Pejabat PNKA Suharto 8 Maret 2004



**Kantor DPP Golkar yang dulu merupakan rumah/kediaman DN Aidit, gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekas Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub),







Gedung Bekas Kantor PKITerbengkalai – Kompas TV


Setelah G30S 1965, kantor PKI beserta gedung-gedung milik lembaga-lembaga yang terkait dengan PKI diambil alih. Gedung-gedung itu sudah berganti bentuk, dan juga pemilik sekarang.





*Rumah yang dimaksud adalah rumah di Rawamangun yang dihuni Ibu  Jane Luyke, istri mendiang Oey Hay Djoen dan di Jalan Cidurian 19 yang dipinjamkan untuk sekretariat Lekra




SEJARAH HITAM UNIVERSITAS TRISAKTI



simak juga


[Sidang Mahmilub G30S] Asvi : Jelas targetnya,melenyapkan mereka!* I Genosida Politik 1965-1966

dan situs-situs genosida lainnya






simak 470 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966








Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o






13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)



Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Bookmark and Share

loading...

0 Response to "Tapak Tilas Situs-situs Genosida Politik 1965-1966 di Jakarta Raya "

Posting Komentar